Senin, 06 Januari 2014

Pengaruh Politik, Sosial dan Budaya pada Kebangkitan Entrepreneurship di Indonesia



1.        Deskripsi Kasus

Memasuki dunia entrepreneur banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari benak kita. Antara lain mengapa seseorang dapat melihat sebuah peluang yang tidak dilihat orang lain dan menjadikan orang tersebut entrepreneur yang sukses? Di sisi lainnya mengapa ada beberapa startup company (perusahaan yang baru didirikan dalam beberapa tahun) yang berkembang menjadi perusahaan besar dan kebanyakan startup lainnya tidak berkembang dan akhirnya tutup begitu saja?
Dalam artikel yang ditulis oleh bisnis Indonesia jumlah entrepreneur melonjak tajam dari 0,18 % pada tahun 2009 menjadi 1,56% pada Januari 2012. Pertumbuhan 1,56% tersebut adalah hasil hitung-hitungan dari Deputi bidang Pengkajian Kemenkop dan UKM berdasarkan data dan kriteria yang ditetapkan oleh BPS sebagai lembaga pemerintah yang dipercaya dan kompeten. Pemerintah mentargetkan Indonesia mencapai 2% entrepreneur pada tahun 2014. Dimana angka 2% entrepreneur dapat dikatakan sebagai batas suatu negara disebut negara maju.
Akan tetapi indonesia masih tertinggal jauh apabila dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti China dan Jepang dengan jumlah entrepreneurship 10% dari total populasi. Malaysia 5% dan Singapura 7%. Terlebih lagi Amerika, lebih dari 12% penduduknya menjadi entrepreneur. 
Dalam kajian lingkungan sosial terdapat tiga faktor yang secara signifikan memberikan pengaruh dan kontrol pada persoalan bisnis yaitu faktor politik, sosial dan budaya. Bagaimana pengaruh ketiga faktor tersebut terhadap perkembangan entrepreneurship di Indonesia? Mengapa prosentase entrepreneurship di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya? Dan apakah jumlah besar entrepreneurship tersebut sudah mewakili untuk peningkatan ekonomi di Indonesia? Bagaimana kalau ternyata entrepreneur yang ada di Indonesia hanya sekelas bisnis gerobak dan kaki lima yang berbeda dengan entrepreneur dari Amerika yang menghasilkan perusahaan-perusahaan raksasa kelas dunia? Dan bagaimana seorang entrepreneur yang akan memulai suatu usaha bereaksi terhadap faktor-faktor lingkungan sosial tersebut?


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFxIOokfhKR1T1adLWp77SfTi7lw7HxbAzJwFK9uXdXn9dOvj4BFDlZQvzo6rW4bTmiyksVzra93kJu0ukO1d2CwCkmZUyHyK0C_jVBAeuUGKN8Wk_VR2ALo6RZaeYmXTWggiY0uGvCD5T/s400/Social+1.bmp




2.      Analisa Kasus

Dari ketiga faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi tersebut akan kita analisis satu-persatu di bab ini.
         2.1    Faktor Politik
Dalam buku “Why Nations Failed” yang ditulis oleh Daron Acemogly dan James Robinson membandingkan dua entrepreneur yang dibesarkan dalam sistem politik yang berbeda. Yang pertama adalah Bill Gates yang mewakili pengusaha yang dibesarkan dalam sistem politik Amerika Serikat dan Carlos Slim dari Meksiko. Bill Gates tumbuh dalam sistem pemerintahan yang sangat mendorong terjadinya inovasi dan kompetisi, pemerintahan yang relatif bersih, mendorong tumbuhnya sektor-sektor usaha formal, karena perizinan mudah dan transparan. 

Dari segi dukungan finansial bank di Amerika dapat memberikan bunga pinjaman 2 – 3 %  sehingga memudahkan pengusaha menjalankan Startup. Bandingkan dengan bunga Bank di Indonesia yang mencapai 11 % untuk pinjaman kredit bagi industri menengah. Di Amerika juga kita mengenal istilah venture capital dan angel investor yang siap mendanai perusahaan-perusahaan Startup tetapi belum mendapat kepercayaan dari Bank.
Infrastruktur sangat bagus sehingga pengusaha dapat beroperasi dengan biaya rendah. SDM yang berkompeten mudah didapatkan asalkan gajinya cocok. Paten dan hak cipta dijunjung tinggi dan pelanggaran akan paten akan dihukum berat. Setiap perusahaan besar tidak akan lolos dari jerat hukum apabila memang terbukti bersalah. 

Bagaimana dengan Carlos Slim dari Meksiko? Dengan kondisi politik yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia tidak dimungkinkan adanya usahawan besar selain berkongsi dengan penguasa.
Di Indonesia belum ada wadah yang jelas bagi para entrepreneur untuk mempermudah perizinan membuat badan usaha yang formal. Bahkan tidak terdapat program yang secara terstruktur mengajarkan bagaimana untuk menjadi seorang entrepreneur di lingkungan kampus-kampus atau universitas layaknya Silicon Valley di Amerika.
Belum ada perlindungan khusus atas hak cipta dan paten. Banyak para pengusaha yang akhirnya memilih untuk menjadi pedagang dibandingkan menjadi produsen. Hal ini dikarenakan pemerintah belum secara penuh mendukung kreatifitas di Indonesia. Pemerintah dengan kebijakan politiknya membuka keran impor secara besar-besaran sehingga barang-barang impor seperti China masuk secara leluasa membanjiri pasar Indonesia.

2.2    Faktor Budaya

Siapa yang tidak kenal dengan kebudayaan mencontek. Mencontek menjadi permasalahan sendiri di sekolah-sekolah kita. Problem mencontek ini mungkin juga dikarenakan kurikulum sekolah yang tidak mendukung kebebasan kreatifitas anak dan harus patuh pada kurikulum yang kaku. Problem tersebut akhirnya menyeruak disaat seorang terpaksa harus membuat sebuah ide bisnis yang inovatif. 
Akhirnya banyak orang yang menginginkan sebuah bisnis yang menguntungkan secara instan, kalau orang lain berhasil pasti saya juga dapat berhasil. Dan hasilnya adalah semua orang berjualan hal yang sama dengan model bisnis yang sama mulai dari kaos, celana jeans, laundry, gorengan, nasi uduk dan tempe penyet. Sedangkan industri manufaktur yang dapat memproduksi produk secara masal dengan jaringan supply chain yang sudah merengkuh dari aceh sampai papua sudah dikuasai oleh pihak asing. Garin Nugroho dalam artikelnya di Kompas menyebutnya sebagai selera serba masa. Setiap orang dapat menirunya secara instan dan tidak ada core competence disana, sesuatu yang menyebabkan orang lain atau perusahaan lain sulit meniru dan kalaupun ada customer lebih memilih berbondong-bondong ke produk kita dibandingkan ke produk orang lain.

2.3    Faktor Sosial

Penelitian pernah dilakukan oleh Lieli Suharti dan Hani Sirine mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap niat kewirausahaan dimana penelitian dilakukan terhadap mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. Pembagian faktor yang mempengaruhi kewirausahaan dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu Faktor Sosio Demografi, Faktor Sikap (Attitude) dan Faktor Kontekstual. Sebagian dari penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Pengaruh Faktor Sosio Demografi dan Faktor Sosial Terhadap Niat Kewirausahaan

Faktor Sosio Demografi
Variabel
Kesimpulan
Jenis Kelamin (laki-laki, perempuan)
Tidak Signifikan
Pekerjaan Orang Tua (berwirausaha, tidak berwirausaha)
Signifikan 5 %
Bidang Studi (eksakta, non eksakta)
Tidak Signifikan
Pengalaman Berwirausaha
Signifikan 1 %
Faktor Kontekstual
Pendidikan dan pelatihan Kewirausahaan
Tidak Signifikan
Academic Support
Signifikan
Social Support
Signifikan
Environmental Support
Tidak Signifikan

Beberapa sumber menyatakan bahwa rendahnya minat dan pertumbuhan entrepreneurship muda di Indonesia disinyalir antara lain disebabkan oleh minimnya contoh dan dorongan lingkungan keluarga kepada sang anak. Masih banyak orangtua yang bekerja sebagai pegawai juga mengharapkan anaknya bekerja sebagai pegawai yang dinilai memiliki risiko lebih kecil dibandingkan menjadi entrepreneur. Orangtua yang berprofesi sebagai entrepreneur diyakini dapat menjadi panutan (entrepreneurial role model) yang akan membentuk minat anak untuk menjadi entrepreneur di masa depan. Kurangnya pelatihan entrepreneurship yang terstruktur di lingkungan UKSW menyebabkan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan menjadi tidak signifikan terhadap niat kewirausahaan. Padahal di penelitian lain pelatihan entrepreneurship mempunyai pengaruh yang signifikan.

  3.       Solusi Kasus

Untuk meningkatkan entrepreneurship di Indonesia ada beberapa solusi yang dapat dilakukan. Solusi dilakukan dari lingkungan politik, sosial dan budaya. Entrepreneurship yang menjadi fokus utama disini adalah yang berbasiskan produk-produk kreatif dan inovatif, bukan sekedar menjual produk-produk makanan di dalam gerobak.
Dari lingkungan politik dukungan dari pemerintah harus 100% diberikan. Dari beberapa tahun yang lalu dukungan pemerintah terhadap entrepreneurship sudah dilakukan antara lain banyaknya kompetisi-kompetisi yang merangsang munculnya ide-ide kreatif antara lain INAICTA yang diadakan oleh Depkominfo, juga PKM (Pekan Kreatifitas Mahasiswa) yang disponsori oleh Dirjen Dikti. Tetapi kelanjutan komersialisasi ide-ide kreatif tersebut masih jauh dari angan-angan. Kebanyakan masih berupa prototype dan masih mencari cara untuk meraih keuntungan dari ide kreatif tersebut.
Solusi lanjutan yang harus dilakukan adalah tahap komersialisasi dari ide-ide yang ada. Pertama adalah dukungan untuk membentuk badan usaha yang formal. Meskipun dipermudah tetapi tetap sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Adanya potongan pajak dan adanya bantuan kredit usaha bagi dengan bunga rendah bagi perusahaan-perusahaan startup
Pembentukan badan-badan inkubator bisnis di lingkungan kampus juga dapat mendukung kebangkitan entrepreneurship. Dimana kita tahu lingkungan kampus adalah gudangnya ide dan inovasi. Sangat sayang sekali jika tidak didukung untuk menjadi besar.
Pendidikan dan pelatihan entrepreneurship harus diberikan secara terstruktur sejak bangku kuliah. Tidak hanya berbentuk seminar sehari tetapi harus benar-benar menghasilkan produk jadi. Sangat perlu adanya kolaborasi dari fakultas-fakultas bisnis dan manajemen dan fakultas-fakultas eksakta (teknik, mipa, teknologi hasil pertanian dll) untuk bisa menelurkan produk-produk yang inovatif dan berdaya jual tinggi.
Pihak industri pun diharapkan turut berpartisipasi dengan berkolaborasi dengan universitas untuk mengadakan riset. Tidak hanya mengerjakan proyek yang bersifat support tetapi benar-benar bekerjasama dalam pengembangan core bisnis perusahaan tersebut. Dengan dukungan dari lingkungan sosial, politik dan budaya niscaya tidak lama lagi Indonesia akan penuh dengan entrepreneur yang penuh dengan kreatifitas.

 4.     Kesimpulan

Jumlah entrepreneur melonjak tajam dari 0,18 % pada tahun 2009 menjadi 1,56% pada Januari 2012. Pemerintah mentargetkan Indonesia mencapai 2% entrepreneur pada tahun 2014. Akan tetapi indonesia masih tertinggal jauh apabila dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti China dan Jepang, Malaysia dan Singapura. 
Ada tiga faktor yang secara signifikan memberikan pengaruh dan kontrol perkembangan entrepreneurship di Indonesia yaitu faktor politik, sosial dan budaya. 
Beberapa solusi dapat dilakukan untuk menggiatkan entrepreneurship di Indonesia. Semua pihak dari pemerintah, pendidikan/universitas dan industri harus berkolaborasi secara bersama-sama demi suksesnya entrepreneurship di Indonesia.

PEMIMPIN BERKUALITAS BISA MERASA, BUKAN MERASA BISA



Indonesia makin demokratis. Tapi kian berkualitaskah hasil demokrasinya? Para pemimpin Indonesia masih harus belajar banyak dari Nelson Mandela. Saat ini Indonesia sedang menghadapi tantangan besar, apakah demokrasi dapat membawa bangsa ini pada kemajuan dan kejayaan, ataukah sebaliknya justru menjerumuskan pada pertikaian dan keterpurukan. Menurut Prof Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, demokrasi sebenarnya hanya sebuah cara yang saat ini dianggap paling fair untuk melahirkan kepemimpinan.

”Tapi kita sering dihadapkan pada realitas proses demokrasi ternyata tak selalu melahirkan kepemimpinan yang baik dan memuaskan rakyat,” kata Bang Din, sapaan akrab mantan ketua Jurusan Perbandingan Agama Institut Islam Agama Islam (IAIN), kini Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu, kepada Qalam. Din mengakui, demokrasi di Indonesia memang masih hanya sekedar sebuah prosedur. Sementara dari segi kualitas masih belum terlalu menjanjikan. Kepemimpinan yang dilahirkan proses demokrasinya masih tidak berkualitas, dan tidak menjamin lahirnya kepemimpinan ideal. Tapi, imbuh Din, kita tak boleh putus asa untuk mencobanya dengan penuh kesabaran. ”Sebab, kualitas demokrasi akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kedewasaan masyarakat yang terlibat,”tegasnya.

Oleh karena itu, pengasuh Pengajian Orbit ini menegaskan, umat Islam Indonesia wajib mengawal demokrasi agar semakin dewasa dan berkualitas. Sebab, dalam Islam kepemimpinan merupakan tindakan fardlu khifâyah yang harus diupayakan. Bahkan, jika ada dua orang Muslim bepergian, diwajibkan untuk menentukan dari salah satu di antara keduanya sebagai pemimpin. Dan menjadi salah, jika umat Islam tak peduli atau lari dari tanggungjawab kepemimpinan. Tapi, jangan pula mereka terjebak dalam motivasi kepemimpinan yang salah. Menurut Din, ada dua referensi yang dapat selalu kita jadikan rujukan dalam melihat motivasi kepemimpinan. Pertama, model Abu Dzar al-Ghifari yang oleh Rasulullah SAW ditolak ketika meminta jabatan. Karena Rasulullah tahu bahwa Abu Dzar tak akan mampu mengenban amanah itu. Kedua, model Nabi Yusuf AS yang menawarkan diri untuk menjadi bendaharawan negeri Mesir, karena menyadari kemampuan dirinya untuk menyelamatkan Mesir dari paceklik panjang dan kebangkrutan (krisis multidimensi). Dari sini jelaslah, motivasi kepemimpinan harus selalu dikembangkan atas dasar “sikap bisa merasa”, bukan “sekedar merasa bisa”. Oleh karena itu, siapa saja anak bangsa yang ingin tampil dalam kepemimpinan nasional, di manapun dan apapun levelnya, harus menyadari bahwa memimpin adalah untuk berkhidmat demi umat dan rakyat. Sebab, kepemimpinan adalah amanah yang harus dijalankan dengan baik. Dan Allah SWT akan meminta pertanggungjawabannya.

Jangan Modal Ambisi Sementara menurut Faturochman, peneliti Puslit Kependudukan UGM Yogyakarta, menjadi pemimpin tidaklah mudah. Dan lebih sulit lagi untuk menjadi pemimpin yang baik. ”Sayangnya, banyak orang tidak menyadari bahwa mereka tidak layak menjadi seorang pemimpin. Ambisi besar malah sering menjadi modal satu-satunya,” ujar dosen Fakultas Psikologi UGMini. Pemimpin yang demikian tentu akan menggunakan cara-cara kurang terpuji guna mencapai puncak tujuan. Ia akan sulit menjadi teladan yang baik. Karena, melalui jalur legal dan benar saja belum menjadi jaminan untuk bisa menjadi teladan. Terlebih sebagai pemimpin, setiap saat ia akan disorot dan diuji untuk menjadi teladan. Sebalik cacat saja akan mengakibatkan banyak reaksi negatif mengalir kepadanya. ”Keteladanan seorang pemimpin bisa dipahami dengan konsep belajar sosial yang banyak dibahas dalam psikologi,” papar Faturochman. Menurut konsep belajar sosial, untuk menjadi teladan, pemimpin harus benar-benar bisa menjadi pusat perhatian yang positif dan menarik. Perhatian masyarakat terhadap pemimpinnya, akan banyak menimbulkan proses psikologis masyarakat. Ucapan dan perilakunya akan banyak dijadikan referensi.
Bila kebijaksanaan-kebijaksanaan para pemimpin itu menguntungkan anggota masyarakat, itu menjadi reward untuk menguatkan anggapan dan perilaku yang terbentuk. Dengan demikian, keteladanan yang terbentuk akan menjadi sangat kuat terhadap masyarakat. Dan pemimpin yang mempunyai hubungan psikologis erat dengan anggota masyarakat, cenderung akan banyak mendapat toleransi bila sekalipun ia melakukan kekeliruan.
Lebih jauh Faturochman mengungkapkan, masyarakat yang meneladani pemimpin, berarti mereka mengidentikasi diri seperti para pemimpinnya. Menurut Herbert Kelman (1961), identifikasi diri merupakan puncak dari kompromi dan kepatuhan terhadap pemimpin. Bila anggota masyarakat telah mengidentifikasi (baca: meneladani) pemimpinnya, maka apapun yang dilakukan dan diinginkannya akan dituruti. Namun untuk mencapai pada tingkat keteladanan yang tinggi, bukan hal yang mudah. Karena, untuk sekedar kompromi dan patuh kepada pemimpin, tak perlu sampai perlu meneladaninya. Seringkali, pemimpin hanya ingin anggota yang dipimpinnya mengikuti berbagai aturan yang ia buat. Dengan kata lain, ia hanya ingin anggota masyarakat patuh kepadanya. Keadaan ini merupakan pola terentan dalam hubungan pemimpin dan yang dipimpin. Kepatuhan yang lemah ini, biasanya hanya digunakan untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari sanksi. Bila tak ada sanksi, mereka akan berbuat seenaknya. Seperti pola hubungan ABS alias asal bapak senang. Di depan mereka patuh, namun di belakang mereka mencibir. BoOks 8 Pelajaran dari Nelson Mandela Mendengar kata ”politikus”, banyak orang sontak mendadak mual. Yang terbayang adalah monster-monster yang merampok uang negara. Tak heran jika Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan (Afesl), terlihat bagai seorang suci (santo) di dunia politik yang kotor. Ia mampu membawa Afsel yang apartheid menuju ranah demokrasi. Banyak orang di dunia mengagungkan tokoh ini. Lantas, apa rahasia kepemimpinannya? Wawancara terbaru Mandela dengan Majalah TIME mengungkap delapan prinsip kepemimpinannya yang patut ditiru semua pemimpin di dunia ini.

1.      Courage is not the absence of fear, it’s inspiring others to move beyond it. Mandela kerap kali merasa gentar, tapi menurutnya itu wajar dialami seorang pemimpin. Tapi, ia tidak ingin menunjukkan rasa takut itu di hadapan orang lain. Keberanian yang ia tampilkan, meski kadang hanya pura-pura, mampu menenangkan kekhawatiran dan menyemangati orang di saat-saat sulit.
2.      Lead from the front, but don’t leave your base behind. Ketika Mandela memutuskan untuk memulai dialog dengan Pemerintah apartheid, teman-temannya mengira ia sudah “menjual diri”. Padahal Mandela dengan sabar membujuk mereka pelan-pelan.
3.      Lead from the back, and let others believe they are in front. Tugas seorang pemimpin, bukan untuk menyuruh-nyuruh orang lain, tapi untuk menciptakan sebuah kesepakatan. Dalam rapat-rapat, Mandela biasanya mendengarkan pendapat teman-temannya terlebih dahulu. Ketika tiba giliran, ia akan merangkum semua pendapat itu, baru mengutarakan pendapatnya sendiri, dan pelan-pelan mengarahkan hasil diskusi tanpa nada memaksa atau memerintah.
4.      Know your enemy, and learn about his favorite sport. Di awal perjuangannya, Mandela bersikeras belajar bahasa Afrikaan, bahasa orang kulit putih Afrika Selatan, dus sejarah kolonialisasi mereka. Ia bahkan berusaha mendalami rugby, olahraga favorit mereka. Wal hasil, ia dihormati lawan, mulai dari sipir penjara, hingga P.W. Botha (Presiden kulit putih Afsel di masa apartheid). Dialog dengan mereka juga menjadi lancar.
5.      Keep your friends close, and your rivals even closer. Orang-orang dekat Mandela tak selalu orang yang ia sukai. Tak jarang mereka justru rival, atau orang-orang yang digosipkan berusaha menggulingkannya. Tapi Mandela percaya, dekat dengan rival adalah satu cara untuk mengendalikan mereka.
6.      Appearances matter, and remember to smile. Mandela percata, apa yang tampak di luar sama pentingnya dengan apa yang ada di dalam diri. Karenanya ia benar-benar menggunakan penampilan fisik untuk membantu perjuangannya.
7.      Nothing is black or white. Meski Mandela jelas-jelas menentang apartheid, ia juga sadar bahwa apartheid memiliki penyebab historis, sosiologis, dan psikologis yang kompleks. Karena itu, ia tak pernah terpaku pada satu jalan untuk memecahkan masalah. Ia adalah politikus yang pragmatis. Ia tak akan segan-segan mengubah ideologi atau taktik, seperti menghentikan perjuangan bersenjata, jika memang itu cara paling praktis untuk mencapai tujuan akhir.
8.      Quitting is leading too. Berhenti menjabat bukan berarti berhenti memimpin. Jasa-jasa Mandela cukup signifikan untuk membuatnya menjadi presiden seumur hidup. Tapi dengan sukarela ia tak ingin dipilih lagi. Baginya, yang diikuti dari seorang pemimpin bukan hanya apa yang ia lakukan, tapi juga apa yang tidak ia lakukan.