1.
Deskripsi Kasus
Memasuki dunia entrepreneur banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dari benak kita. Antara lain mengapa seseorang dapat melihat sebuah
peluang yang tidak dilihat orang lain dan menjadikan orang tersebut
entrepreneur yang sukses? Di sisi lainnya mengapa ada beberapa startup company (perusahaan yang baru
didirikan dalam beberapa tahun) yang berkembang menjadi perusahaan besar dan
kebanyakan startup lainnya tidak berkembang dan akhirnya tutup begitu saja?
Dalam artikel yang ditulis oleh bisnis Indonesia jumlah
entrepreneur melonjak tajam dari 0,18 % pada tahun 2009 menjadi 1,56% pada
Januari 2012. Pertumbuhan 1,56% tersebut adalah hasil hitung-hitungan dari
Deputi bidang Pengkajian Kemenkop dan UKM berdasarkan data dan kriteria yang
ditetapkan oleh BPS sebagai lembaga pemerintah yang dipercaya dan kompeten.
Pemerintah mentargetkan Indonesia mencapai 2% entrepreneur pada tahun 2014.
Dimana angka 2% entrepreneur dapat dikatakan sebagai batas suatu negara disebut
negara maju.
Akan tetapi indonesia masih tertinggal jauh apabila dibandingkan
dengan negara Asia lainnya seperti China dan Jepang dengan jumlah
entrepreneurship 10% dari total populasi. Malaysia 5% dan Singapura 7%.
Terlebih lagi Amerika, lebih dari 12% penduduknya menjadi entrepreneur.
Dalam kajian lingkungan sosial terdapat tiga faktor yang secara
signifikan memberikan pengaruh dan kontrol pada persoalan bisnis yaitu faktor
politik, sosial dan budaya. Bagaimana pengaruh ketiga faktor tersebut terhadap
perkembangan entrepreneurship di Indonesia? Mengapa prosentase entrepreneurship
di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya?
Dan apakah jumlah besar entrepreneurship tersebut sudah mewakili untuk
peningkatan ekonomi di Indonesia? Bagaimana kalau ternyata entrepreneur yang
ada di Indonesia hanya sekelas bisnis gerobak dan kaki lima yang berbeda dengan
entrepreneur dari Amerika yang menghasilkan perusahaan-perusahaan raksasa kelas
dunia? Dan bagaimana seorang entrepreneur yang akan memulai suatu usaha
bereaksi terhadap faktor-faktor lingkungan sosial tersebut?
2. Analisa Kasus
Dari ketiga faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi tersebut
akan kita analisis satu-persatu di bab ini.
2.1
Faktor
Politik
Dalam buku “Why Nations
Failed” yang ditulis oleh Daron Acemogly dan James Robinson membandingkan
dua entrepreneur yang dibesarkan dalam sistem politik yang berbeda. Yang
pertama adalah Bill Gates yang mewakili pengusaha yang dibesarkan dalam sistem
politik Amerika Serikat dan Carlos Slim dari Meksiko. Bill Gates tumbuh dalam
sistem pemerintahan yang sangat mendorong terjadinya inovasi dan kompetisi,
pemerintahan yang relatif bersih, mendorong tumbuhnya sektor-sektor usaha
formal, karena perizinan mudah dan transparan.
Dari segi dukungan finansial bank di Amerika dapat memberikan
bunga pinjaman 2 – 3 % sehingga
memudahkan pengusaha menjalankan Startup.
Bandingkan dengan bunga Bank di Indonesia yang mencapai 11 % untuk pinjaman
kredit bagi industri menengah. Di Amerika juga kita mengenal istilah venture capital dan angel investor yang siap mendanai perusahaan-perusahaan Startup tetapi belum mendapat
kepercayaan dari Bank.
Infrastruktur sangat bagus sehingga pengusaha dapat beroperasi
dengan biaya rendah. SDM yang berkompeten mudah didapatkan asalkan gajinya
cocok. Paten dan hak cipta dijunjung tinggi dan pelanggaran akan paten akan
dihukum berat. Setiap perusahaan besar tidak akan lolos dari jerat hukum
apabila memang terbukti bersalah.
Bagaimana dengan Carlos Slim dari Meksiko? Dengan kondisi
politik yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia tidak dimungkinkan adanya
usahawan besar selain berkongsi dengan penguasa.
Di Indonesia belum ada wadah yang jelas bagi para entrepreneur
untuk mempermudah perizinan membuat badan usaha yang formal. Bahkan tidak
terdapat program yang secara terstruktur mengajarkan bagaimana untuk menjadi
seorang entrepreneur di lingkungan kampus-kampus atau universitas layaknya
Silicon Valley di Amerika.
Belum ada perlindungan khusus atas hak cipta dan paten. Banyak
para pengusaha yang akhirnya memilih untuk menjadi pedagang dibandingkan
menjadi produsen. Hal ini dikarenakan pemerintah belum secara penuh mendukung
kreatifitas di Indonesia. Pemerintah dengan kebijakan politiknya membuka keran
impor secara besar-besaran sehingga barang-barang impor seperti China masuk
secara leluasa membanjiri pasar Indonesia.
2.2 Faktor
Budaya
Siapa yang tidak kenal dengan kebudayaan mencontek. Mencontek
menjadi permasalahan sendiri di sekolah-sekolah kita. Problem mencontek ini
mungkin juga dikarenakan kurikulum sekolah yang tidak mendukung kebebasan
kreatifitas anak dan harus patuh pada kurikulum yang kaku. Problem tersebut
akhirnya menyeruak disaat seorang terpaksa harus membuat sebuah ide bisnis yang
inovatif.
Akhirnya banyak orang yang menginginkan sebuah bisnis yang
menguntungkan secara instan, kalau orang lain berhasil pasti saya juga dapat
berhasil. Dan hasilnya adalah semua orang berjualan hal yang sama dengan model
bisnis yang sama mulai dari kaos, celana jeans, laundry, gorengan, nasi uduk
dan tempe penyet. Sedangkan industri manufaktur yang dapat memproduksi produk
secara masal dengan jaringan supply chain yang sudah merengkuh dari aceh sampai
papua sudah dikuasai oleh pihak asing. Garin Nugroho dalam artikelnya di Kompas
menyebutnya sebagai selera serba masa. Setiap orang dapat menirunya secara
instan dan tidak ada core competence
disana, sesuatu yang menyebabkan orang lain atau perusahaan lain sulit meniru
dan kalaupun ada customer lebih memilih berbondong-bondong ke produk kita
dibandingkan ke produk orang lain.
2.3 Faktor
Sosial
Penelitian pernah dilakukan oleh Lieli Suharti dan Hani Sirine
mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap niat kewirausahaan dimana
penelitian dilakukan terhadap mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana di
Salatiga. Pembagian faktor yang mempengaruhi kewirausahaan dibagi menjadi tiga
bagian besar yaitu Faktor Sosio Demografi, Faktor Sikap (Attitude) dan Faktor Kontekstual. Sebagian dari penelitian tersebut
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Pengaruh Faktor
Sosio Demografi dan Faktor Sosial Terhadap Niat Kewirausahaan
Faktor Sosio
Demografi
|
|
Variabel
|
Kesimpulan
|
Jenis Kelamin (laki-laki, perempuan)
|
Tidak Signifikan
|
Pekerjaan Orang Tua (berwirausaha, tidak berwirausaha)
|
Signifikan 5 %
|
Bidang Studi (eksakta, non eksakta)
|
Tidak Signifikan
|
Pengalaman Berwirausaha
|
Signifikan 1 %
|
Faktor Kontekstual
|
|
Pendidikan dan pelatihan Kewirausahaan
|
Tidak Signifikan
|
Academic Support
|
Signifikan
|
Social Support
|
Signifikan
|
Environmental
Support
|
Tidak Signifikan
|
Beberapa sumber menyatakan bahwa rendahnya minat dan pertumbuhan
entrepreneurship muda di Indonesia disinyalir antara lain disebabkan oleh
minimnya contoh dan dorongan lingkungan keluarga kepada sang anak. Masih banyak
orangtua yang bekerja sebagai pegawai juga mengharapkan anaknya bekerja sebagai
pegawai yang dinilai memiliki risiko lebih kecil dibandingkan menjadi
entrepreneur. Orangtua yang berprofesi sebagai entrepreneur diyakini dapat
menjadi panutan (entrepreneurial role
model) yang akan membentuk minat anak untuk menjadi entrepreneur di masa
depan. Kurangnya pelatihan entrepreneurship yang terstruktur di lingkungan UKSW
menyebabkan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan menjadi tidak signifikan terhadap
niat kewirausahaan. Padahal di penelitian lain pelatihan entrepreneurship
mempunyai pengaruh yang signifikan.
3.
Solusi Kasus
Untuk
meningkatkan entrepreneurship di Indonesia ada beberapa solusi yang dapat
dilakukan. Solusi dilakukan dari lingkungan politik, sosial dan budaya.
Entrepreneurship yang menjadi fokus utama disini adalah yang berbasiskan
produk-produk kreatif dan inovatif, bukan sekedar menjual produk-produk makanan
di dalam gerobak.
Dari
lingkungan politik dukungan dari pemerintah harus 100% diberikan. Dari beberapa
tahun yang lalu dukungan pemerintah terhadap entrepreneurship sudah dilakukan
antara lain banyaknya kompetisi-kompetisi yang merangsang munculnya ide-ide
kreatif antara lain INAICTA yang diadakan oleh Depkominfo, juga PKM (Pekan
Kreatifitas Mahasiswa) yang disponsori oleh Dirjen Dikti. Tetapi kelanjutan
komersialisasi ide-ide kreatif tersebut masih jauh dari angan-angan. Kebanyakan
masih berupa prototype dan masih
mencari cara untuk meraih keuntungan dari ide kreatif tersebut.
Solusi
lanjutan yang harus dilakukan adalah tahap komersialisasi dari ide-ide yang
ada. Pertama adalah dukungan untuk membentuk badan usaha yang formal. Meskipun
dipermudah tetapi tetap sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Adanya potongan pajak dan adanya bantuan kredit usaha bagi dengan bunga rendah
bagi perusahaan-perusahaan startup.
Pembentukan
badan-badan inkubator bisnis di lingkungan kampus juga dapat mendukung
kebangkitan entrepreneurship. Dimana kita tahu lingkungan kampus adalah
gudangnya ide dan inovasi. Sangat sayang sekali jika tidak didukung untuk
menjadi besar.
Pendidikan
dan pelatihan entrepreneurship harus diberikan secara terstruktur sejak bangku
kuliah. Tidak hanya berbentuk seminar sehari tetapi harus benar-benar menghasilkan
produk jadi. Sangat perlu adanya kolaborasi dari fakultas-fakultas bisnis dan
manajemen dan fakultas-fakultas eksakta (teknik, mipa, teknologi hasil
pertanian dll) untuk bisa menelurkan produk-produk yang inovatif dan berdaya
jual tinggi.
Pihak industri
pun diharapkan turut berpartisipasi dengan berkolaborasi dengan universitas
untuk mengadakan riset. Tidak hanya mengerjakan proyek yang bersifat support tetapi benar-benar bekerjasama
dalam pengembangan core bisnis
perusahaan tersebut. Dengan dukungan dari lingkungan sosial, politik dan budaya
niscaya tidak lama lagi Indonesia akan penuh dengan entrepreneur yang penuh
dengan kreatifitas.
4. Kesimpulan
Jumlah
entrepreneur melonjak tajam dari 0,18 % pada tahun 2009 menjadi 1,56% pada
Januari 2012. Pemerintah mentargetkan Indonesia mencapai 2% entrepreneur pada
tahun 2014. Akan tetapi indonesia masih tertinggal jauh apabila dibandingkan
dengan negara Asia lainnya seperti China dan Jepang, Malaysia dan
Singapura.
Ada tiga
faktor yang secara signifikan memberikan pengaruh dan kontrol perkembangan
entrepreneurship di Indonesia yaitu faktor politik, sosial dan budaya.
Beberapa
solusi dapat dilakukan untuk menggiatkan entrepreneurship di Indonesia. Semua
pihak dari pemerintah, pendidikan/universitas dan industri harus berkolaborasi
secara bersama-sama demi suksesnya entrepreneurship di Indonesia.